Slow Living Bukan Selalu Semanis yang Terlihat
Gaya hidup slow living, yang mengutamakan kedamaian, kemudahan, dan kewaspadaan sadar, sudah menjadi dambaan buat banyak individu yang berharap untuk melepaskan diri dari keriuhan urban. Konsep ini tampaknya memberikan janji kegembiraan lewat cara menjalani hari-hari yang lebih damai serta lebih dekat dengan alam. Tetapi, adakah kenyataannya senyaman apa yang diiming-imingkan? Bagi orang yang dulu berniat untuk keluar dari Jakarta guna menerapkan gaya hidup lambat di kawasan pedesaan, saya ingin menyampaikan pemikiran serta introspeksi diri mengenai cara pandang tersebut tak semudah yang terbayangkan dalam realitanya. Ekspektasi Pertama: Mencari Ketentraman di Wilayah tersebut Saat masih remaja, pikiran saya kerap melambung kepada suatu hidup yang sunyi di pinggir kota. Saya terbayang hawa sejuk, atmosfer tenang, serta komunitas ramah layaknya masa kecilku—baik itu waktu bernaungan di Pekanbaru maupun pada perjalanan wisata mengunjungi beberapa kotamadya sempit dan desa-des...